Minggu, 01 Mei 2016

MAKALAH "Kesulitan dalam belajar".


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
            Belajar adalah kegiatan yang berproses dan merupakan unsure yang sangat fundamental dalam setiap penyelenggaraan jenis dan jenjang pendidikan. ini berarti bahwa berhasil atau gagalnya pencapaian tujuan pendidikan itu amat bergantung pada proses belajar yang dialami siswa, baik ketika ia berada dalam sekolah maupun di lingkungan rumah atau keluarga sendiri.
            Pada masa sekarang ini banyak sekali anak-anak mengalami kesulitan dalam belajar. Hal tersebut tidak hanya dialami oleh siswa-siswa yang berkemampuan kurang saja. Hal tersebut juga dialami oleh siswa-siswa yang berkemampuan tinggi. Selain itu, siswa yang berkemampuan rata-rata juga mengalami kesulitan dalam belajar. Sedang yang namanya kesulitan belajar itu merupakan kondisi proses belajar yang ditandai oleg hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai kesuksesan.
            Kesulitan belajar ini tidak selalu disebabkan oleh faktor intelegensi yang rendah (kelainan mental) akan tetapi juga disebabkan oleh faktor-faktor non-intelegensi. Dengan demikian, IQ yang tinggi belum tentu mendapat jaminan keberhasilan belajar, karena dalam rangka
B.     Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian kesulitan belajar?
2.    Apa sajakah faktor-faktor kesulitan belajar?
3.    Bagaimanakah diagnosis kesulitan belajar?
4.    Bagaimana mengatasi kesulitan belajar?
C.    Tujuan


BAB II
 PEMBAHASAN
A.    Pengertian belajar
Setiap siswa pada prinsipnya tentu berhak memperoleh peluang untuk mencapai kinerja akademik (academic performance) yang memuaskan. Namun, dari kenyataan sehari-hari tampak jelas bahwa siswa itu memiliki perbedaan dalam hal kemampuan intelektual, kemampuan fisik, latar belakang keluarga, kebiasaan dan pendekatan belajar yang terkadang sangat mencolok antara seorang siswa dengan siswa lainnya.
Sementara itu, penyelenggaraan pendidikan di sekolah-sekolah kita pada umumnya hanya ditujukan kepada para siswa yang berkemampuan rata-rata, sehingga siswa yang berkemampuan lebih atau yang berkemampuan kurang itu terabaikan. Dengan demikian, siswa-siswa yang berkategori “di luar rata-rata” itu (sangat pintar dan sangat bodoh) tidak mendapat kesempatan yang memadai untuk berkembang sesuai dengan kapasitasnya.
Kesulitan belajar adalah kondisi dimana anak dengan kemampuan intelegensi rata-rata atau di atas rata-rata, namun memiliki ketidakmampuan atau kegagalan dalam belajar yang berkaitan dengan hambatan dalam proses persepsi, konseptualisasi, berbahasa, memori, serta pemusatan perhatian, penguasaan diri, dan fungsi integrasi sensori motorik (Clement, dalam Weiner, 2003). Berdasarkan pandangan Clement tersebut maka pengertian kesulitan belajar adalah kondisi yang merupakan sindrom multidimensional yang bermanifestasi sebagai kesulitan belajar spesifik (spesific learning disabilities), hiperaktivitas dan/atau distraktibilitas dan masalah emosional
Dari sini timbullah apa yang disebut kesulitan belajar (learning difficulty) yang tidak hanya menimpa siswa berkemampuan rendah saja, tetapi juga dialami oleh siswa yang berkemampuan tinggi. Selain itu kesulitan belajar juga dapat dialami oleh siswa yang berkemampuan rata-rata (normal) disebabkan oleh faktor-faktor tertentu yang menghambat tercapainya kinerja akademik yang sesuai dengan harapan.
B.     Faktor-faktor Kesulitan Belajar
Fenomena kesulitan belajar seorang siswa biasanya tampak jelas dari menurunnya kinerja akademik atau prestasi belajarnya. Namun, kesulitan belajar juga dapat dibuktikan dengan munculnya kelainan perilaku (misbehavior) siswa seperti kesukaan berteriak-teriak di dalam kelas, mengusik teman, berkelahi, sering tidak masuk kuliah, dan sering minggat dari sekolah.
Secara garis besar, faktor-faktor penyebab timbulnya kesulitan belajar terdiri atas dua macam;
1.    Faktor intern siswa, yakni hal-hal atau keadaan-keadaan yang muncul dari dalam siswa sendiri.
2.    Faktor ektern siswa, yakni hal-hal atau keadaan-keadaan yang datang dari luar diri siswa.
Kedua faktor ini meliputi aneka ragam hal dan keadaan yang antara lain tersebut dibawah ini.
a.        Faktor intern siswa
  Faktor intern siswa meliputi gangguan atau ketidakmampuan psiko-fisik siswa, yakni:
1.    Yang bersifat kognitif (ranah cipta), antara lain seperti rendahnya kapasitas intelektual/intelegensi siswa;
2.    Yang bersifat afektif (ranah rasa), antara lain seperti labilnya emosi dan sikap;
3.    Yang bersifat psikomotor (ranah karsa), antara lain seperti terganggunya alat-alat indera penglihatan dan pendengar (mata dan telinga)

b.        Fisiologi
Faktor fisiologi adalah factor fisik dari anak itu sendiri. seorang anak yang sedang sakit, tentunya akan mengalami kelemahan secara fisik, sehingga proses menerima pelajaran, memahami pelajaran menjadi tidak sempurna. Selain sakit factor fisiologis yang perlu kita perhatikan karena dapat menjadi penyebab munculnya masalah kesulitan belajar adalah cacat tubuh, yang dapat kita bagi lagi menjadi cacat tubuh yang ringan seperti kurang pendengaran, kurang penglihatan, serta gangguan gerak, serta cacat tubuh yang tetap (serius) seperti buta, tuli, bisu, dan lain sebagainya.
c.         Psikologis
Faktor psikologis adalah berbagai hal yang berkenaan dengan berbagai perilaku yang ada dibutuhkan dalam belajar. Sebagaimana kita ketahui bahwa belajar tentunya memerlukan sebuah kesiapan, ketenangan, rasa aman. Selain itu yang juga termasuk dalam factor psikoogis ini adalah intelligensi yang dimiliki oleh anak. Anak yang memiliki IQ cerdas (110 – 140), atu genius (lebih dari 140) memiliki potensi untuk memahami pelajaran dengan cepat. Sedangkan anak-anak yang tergolong sedang (90 – 110) tentunya tidak terlalu mengalami masalah walaupun juga pencapaiannya tidak terlalu tinggi. Sedangkan anak yang memiliki IQ dibawah 90 atau bahkan dibawah 60 tentunya memiliki potensi mengalami kesulitan dalam masalah belajar. Untuk itu, maka orang tua, serta guru perlu mengetahui tingkat IQ yang dimiliki anak atau anak didiknya. Selain IQ factor psikologis yang dapat menjadi penyebab munculnya masalah kesulitan belajar adalah bakat, minat, motivasi, kondisi kesehatan mental anak, dan juga tipe anak dalam belajar.
d.        Faktor ektern siswa
Faktor ektern siswa meliputi semua situasi dan kondisi lingkungan sekitar yang tidak mendukung aktivitas belajar siswa. Dari lingkungannya dibagi menjadi 3 macam:.
1.    Lingkungan keluarga, contohnya: ketidakharmonisan hubungan antara ayah dan ibu, dan rendahnya kehidupan ekonomi keluarga.
2.    Lingkungan perkampungan/masyarakat, contohnya: wilayah perkampungan kumuh (slum area), dan teman sepermainan (peer group) yang nakal.
3.    Lingkungan sekolah, contohnya: kondisi dan letak gedung yang buruk seperti dekat pasar, kondisi guru serta alat-alat belajar yang berkualitas rendah.
Adapun faktor-faktor ekternnya adalah sebagai berikut:
1.      Social. Yaitu faktor-faktor seperti cara mendidik anak oleh orang tua mereka di rumah. Anak-anak yang tidak mendapatkan perhatian yang cukup tentunya akan berbeda dengan anak-anak yang cukup mendapatkan perhatian, atau anak yang terlalu diberikan perhatian. Selain itu juga bagimana hubungan orang tua dengan anak, apakah harmonis, atau jarang bertemu, atau bahkan terpisah. Hal ini tentunya juga memberikan pengaruh pada kebiasaan belajar anak
2.      Non-social Faktor-faktor non-sosial yang dapat menjadi penyebab munculnya masalah kesulitan belajar adalah factor guru di sekolah, kurikulum dan sebagainya. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli yang menaruh perhatian terhadap masalah kesulitan belajar, ditemukan sejumlah faktor penyebabnya, diantaranya

a)  Keturunan
Di Swedia, Hallgren melakukan penelitian dengan objek keluarga dan menemukan rata-rata anggota tersebut mengalami kesulitan dalam membaca, menulis dan mengija, setelah diteliti secara lebih mendalam, ternyata salah satu faktor penyebabnya adalah faktor keturunan.

b)  Otak
Ada pendapat yang menyatakan bahwa anak yang lamban belajar mengalami gangguan pada syaraf otaknya. Pendapat ini telah menjadi perdebatan yang cukup sengit. Beberapa peneliti menganggap bahwa terdapat kesamaan ciri pada perilaku anak yang mengalami kelambanan atau kesulitan belajar dengan anak yan ab-normal. Hanya saja anak yang lamban atau kesulitan belajar memiliki adanya sedikit tanda cedera pada otak, oleh karena itu para ahli tidak terlalu menganggap cedera otak sebagai penyebabnya, kecuali ahli syaraf membuktikan ini.
c)    Pemikiran
Siswa yang mengalami kesulitan belajar akan menmgalami kesulitan dalam menerima penjelasan tentang pelajaran. Salah satu penyebabnya adalah mereka tidak dapat mengorganisasikan cara berpikir secara baik dan sistematis. Para ahli berpendapat bahwa mereka perlu dilatih berulang-ulang, dengan tujuan meningkatkan daya belajarnya.
d)   Gizi
Berdasarkan penelitian para ahli yang dilakukan terhadap anak-anak dan binatang, ditemukan bahwa ada kaitan yang erat antara kesulitan belajar dengan kekurangan gizi. Artinya, kekurangan gizi menjadi salah satu penyebab terjadinya kelambanan atau kesulitan belajar.
e)    Lingkungan
Faktor-faktor lingkungan adalah hal-hal yang tidak menguntungkan yang dapat nengganggu perkembngan mental anak, baik yang terjadi di dalam keluarga, sekolah maupun lingkungan masyarakat. Meskipun faktor ini dapat pengaruhi kesulitan belajar, tetapi bukan satu-satunya faktor penyebab terjadinya kesulitan belajar. Namun, yang pasti faktor tersebut dapat mengganggu ingatan dan daya konsentrasi anak.
f)     Biokimia
Pengaruh penggunaan obat atau bahan kimia lain terhadap kesulitan belajar masih menjadi kontroversi. Penelitian yang dilakukan oleh Adelman dan Comfers (dalam Kirk & Ghallager, 1986) menemukan bahwa obat stimulan dalam jangka pendek dapat mengurangi hiperaktivitas. Namun beberapa tahun kemudian penelitian Levy (dalam Kirk & Ghallager, 1986) membuktikan hal yang sebaliknya. Penemuan kontroversial oleh Feingold menyebutkan bahwa alergi, perasa dan pewarna buatan hiperkinesis pada anak yang kemudian akan menyebabkan kesulitan belajar. Ia lalu merekomendasikan diet salisilat dan bahan makanan buatan kepada anak-anak yang mengalami kesulitan belajar.
Selain faktor-faktor yang bersifat umum diatas, adapula faktor yang yang juga menimbulkan kesulitan belajar siswa. Diantara faktor-faktor yang dapat dipandang sebagai faktor khusus ini ialah sindrom psikologis berupa learning disability (ketidakmampuan belajar). Sindrom (syndrome) yang berarti satuan gejala yang muncul sebagai indikator adanya keabnormalan psikis (Reber,1998) yang menimbulkan kesulitan belajar itu.
1)     Disleksia (dyslexia), yakni ketidakmampuan membaca.
2)     Disgrafia (dysgraphia), yakni ketidakmampuan belajar menulis.
3)     Diskalkulia (dyscalculia), yakni ketidakmampuan belajar matematika.
Akan tetapi, siswa yang mengalami sindrom-sindrom diatas secara umum sebenarnya memiliki potensi IQ yang normal bahkan diantaranya ada yang memiliki kecerdasan diatas rata-rata. Oleh karenanya, kesulitan belajar siswa yang menderita sindrom-sindrom tadi mungkin hanya disebabkan oleh adanya minimal brain dysfunction, yaitu gangguan ringan pada otak (Lask, 1985: Rebert, 1988).

C.    Diagnosis Kesulitan Belajar
1.        Pengertian diagnosis kesulitan belajar
Diagnosis adalah keputusan atau penentu mengenai hasil dari pengolahan data tentang siswa yang mengalami kesulitan belajar dan jenis kesulitan yang dialami siswa.[11] Sebelum menetakan alternatif pemecahan masalah kesulitan belajar siswa, guru sangat dianjurkan untuk terlebih dahulu melakukan identifikasi (upaya mengenali gejala dengan cermat) terhadap fenomena yang menunjukkan kemungkinan adanya kesulitan belajar yang melanda siswa tersebut. Upaya seperti ini disebut diagnosis yang bertujuan menetapkan “jenis penyakit” yakni  jenis kesulitan belajar siswa. Dalam melakukan diagnosis diperlukan adanya prosedur yang terdiri atas langkah-langkah tertentu yang diorientasikan pada ditemukannya kesulitan belajar jenis tertentu yang dialami siswa. Prosedur seperti ini dikenal sebagai “diagnostik” kesulitan belajar.[12]
a.       Langkah-langkah diagnosis kesulitan belajar
Banyak langkah-langkah diagnostik yang dapat ditempuh guru, antara lain yang cukup terkenal adalah prosedur Weener & Senf (1982) sebagaimana yang dikutip Wardani (1991) sebagai berikut:
1)      Melakukan observasi kelas untuk melihat perilaku menyimpang siswa ketika mengikuti pelajaran.
2)      Memeriksa penglihatan dan pendengaran siswa khususnya yang diduga mengalami kesulitan belajar.
3)      Mewawancarai orangtua / wali siswa untuk mengetahui hal ihwal keluarga yang mungkin menimbulkan kesulitan belajar.
4)      Memberikan tes diagnostik bidang kecakapan tertentu untuk mengetahui hakikat kesulitan belajar yang dialami siswa.
5)      Memberikan tes kemampuan intelegensi (IQ) khususnya kepada siswa yang diduga mengalami kesulitan belajar.[1]
Diagnosis ini dapat berupa hal-hal sebagai berikut:
1)      Keputusan mengenai jenis kesulitan belajar siswa.
2)      Keputusan mengenai faktor-faktor yang menjadi sumber sebab-sebab kesulitan belajar.
3)      Keputusan mengenai jenis mata pelajaran apa yang mengalami kesulitan belajar.[2]
Kegiatan diagnosis dapat dilakukan dengan cara:
1)      Membandingkan nilai prestasi individu untuk setiap mata pelajaran dengan rata-rata nilai seluruh individu.
2)      Membandingkan prestasi dengan potensi yang dimiliki oleh siswa tersebut.
3)      Membandingkan nilai yang diperoleh dengan batas minimal tujuan yang diharapkan.
Secara umum langkah-langkah tersebut diatas dapat dilakukan dengan mudah oleh guru kecuali langkah ke-5 (tes IQ). Untuk keperluan tes IQ, guru dan orang tua siswa dapat berhubungan dengan klinik psikologi. Dalam hal ini, yang perlu dicatat ialah apabila siswa yang mengalami kesulitan belajar itu ber-IQ jauh dibawah normal (tuna grahita), orang tua hendaknya mengirimkan siswa tersebut ke lembaga pendidikan khusus anak-anak tuna grahita (sekolah luar biasa), karena lembaga/ sekolah biasa tidak menyediakan tenaga pendidik dan kemudahan belajar khusu untuk anak-anak abnormal. Selanjutnya, para siswa yang nyata-nyata menunjukkan misbehavior berat seperti perilaku agresif yang berpotensi antisosial atau kecanduan narkotika, harus diperlakukan secara khusus pula, umumnya dimasukkan ke lembaga pemasyarakatan anak-anak atau ke “pesantren” khusus pecandu narkotika.
Adapun untuk mengatasi kesulitan belajar siswa pengidap sindrom disleksia, disgafia, dan diskalkulia, sebagaimana yang telah diuraikan, guru dan orang tua sangat dianjurkan untuk memanfaatkan support teacher (guru pendukung). Guru khusus ini biasanya bertugas menangani siswa pengidap sindrom-sindrom tadi disamping melakukan remedial teaching (pengajaran perbaikan).
Dalam rangka diagnosis ini biasanya diperlukan berbagai bantuan tenaga ahli, misalnya:
1)        Dokter, untuk mengetahui kesehatan anak.
2)        Psikolog, untuk mengetahui tingkat IQ anak.
3)        Psikiater, untuk mengetahui kejiwaan anak.
4)        Social worker, untuk mengetahui kelainan sosial yang mungkin dialami anak.
5)        Ortopedagogik, untuk mengetahui kelainan-kelainan yang ada pada anak.
6)        Guru kelas, untuk mengetahui perkembangan belajar anak selama di sekolah.
7)        Orang tua anak, untuk mengetahui kebiasaan anak dirumah[3]
2.      Analisis hasil diagnosis kesulitan belajar
Data dan informasi yang diperoleh guru melalui diagnostik kesulitan belajar tadi perlu dianalisis sedemikian rupa, sehingga jenis kesulitan khusus yang dialami siswa yang berprestasi rendah itu dapat diketahui secara pasti. Contoh : siti fulanah mengalami kesulitan khusus dalam memahami konsep kata polisemi. Polisemi adalahsebuah istilah yang menunjuk kata yang mimiliki dua makna atau lebih. Kata “turun”, umpamanya, dapat dipakai dalam berbagai frase seperti turun tangga, turun ranjang, turun tangan dan seterusnya. Contoh sebaliknya, kata “naik” yang juga dapat dipakai dalam banyak frase seperti: naik daun, naik darah, naik banding, dan sebagainya.





[1]Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hal.186-187
[2]Aunur Rahman, Belajar dan Pembelajaran, (Bandung: Alfabeta, 2012), hal.197-198
[3]Abu Ahmadi,dkk, Psikologi Belajar, (Jakarta: Rineka Cipta, 2013), hal.98-99

Tidak ada komentar: