Minggu, 01 Mei 2016

MAKALAH "Madrasah-madrasah di mekah dan di madinah".


MADRASAH-MADRASAH
DI MEKAH DAN DI MADINAH


OLEH : KLP III

ANDRIADI
SRI JAYANTI
MISRAWATI









PEMBAHASAN
A.     PENGERTIAN MADRASAH
Madrasah adalah salah satu bentuk institusi ( lembaga) pendidikan formal dalam islam. Model madrasah tidak sama dengan masjid atau lembaga pendidikan islam lainnya. Madrasaqh merupakan perkembangan dari masjid. Akibat antusias dan besarnya semangat belajar umat islam, membuat masjid-masjid penuh dengan halaqah-halaqah. Dari tiap halaqah terdengar suara guru-guru yang menjaelaskan pelajaran atau suara perdebatan dalam proses mengajar, sehingga menimbulkan kebisingan yang mengganggu orang ibadah. Semakin banyak umat slam interes pada ilmu semakin banyak pula para penuntut ilmu tersebut, masjid pun penuh dan tidak menampung murid-murid. Lahirlah madrasah, yang bermula dari masjid dan masjid khan. Prototype masjid khan adalah suatu desain dimana di sekeliling masjid dibangun pemondokan atau asrama untuk murid atau untuk guru yang tinggal didalamnya. Masjid-khan tersebut mengalami perkembangan menjadi madrasah, dimana di dalamanya terjadi proses belajar mengajar antara pendidik dan si terdidik. Ada p[erbedaan esensial antara masjd dengan madrasah. Kedua institusi ini berawal dari waqf. Masjid sebagai bangunan waqf, bebas dari control pendirinya yang disebut waqf-tahrir. Sedangkan madrasah dibawah control pendirinya.
Pelacakan kapan awal mulanya lahir madrasah, banyak para sejarawan yang berbeda pandangan . menurut Al-Suyuthi, seperti dikutip azyumadi azra, istilah madrasah baru digunakan agak luas sejak abad ke-9. institusi yang memperlihatkan cirri-ciri madrasah sebagaimana di kenal sekarang, didirikan di Nisyapur, Iran , sekitar seperempat pertama abad ke-11. syalabi menyatakan bahwa madrasah yang   
Dominasi materi yang diajarkan di madrasah adalah bidang studi fiqih, George Makdisi, seperti diutip oleh Al Tibawi, memberi nama madrasah adalah sebagai Collge of law. Lebih lanjut Makdisi menjelaskan, sebagaimana dikutip Hanun Asrohah, bahwa istilah madrasah diambil dari kata dars. Kata dars menunjukkan pada mata pelajaran fiqih. Dan tadris, bentuk verbal naun ( masdar), berarti mengajar fiqih. Ulama atau guru besar fiqih disebut mudarris dan kata darasa, tanpa dilengkapi sebuah komplemen, diartikan mengajarkan bidang studi fiqih
B.     MADRASAH DI MAKKAH
Menurut sejarawan Al-Fasi Al-Makki Al-Maliki (775-832 H./1373-1428 M), madrasah pertama di Mekkah adalah madrasah Al-Ursufiyah yang didirikan pada 1175 oleh Afif Abdullah Muhammad Al-Ursufi (w. 1196 M). Setelah itu kemudian muncul madrasah-madrasah yang lain dengan berbagai ragam khazanah keilmuan yang diterapkan sebagai kurikulumnya. Ciri terpenting madrasah-madrasah di Mekkah adalah hampir seluruh madrasah itu dibangun oleh penguasa-penguasa atau dermawan non-Hijazi. Hanya satu madrasah, yakni madrasah Al-Syarif Al-Ajlan yang dibangun penguasa Mekkah, Ajlan Abu Syari’ah (744-777H./1344-1375 M). sedangkan yang terbanyak mendirikan madrasah di Mekkah adalah penguasa Usmani, mereka membangun 5 madrasah, yaitu 4 dibangun oleh sultan Sulaiman Al-Qanuni dan 1 lagi dibangun oleh sultan Murad (1574-1595 M). selanjutnya penguasa dan para pejabat Abbasiyah membangun 4 madrasah. Sementara yang lain penguasa-penguasa Mamluk dan Yaman serta penguasa muslim India. Selain kedua madrasah diatas, Hillanbrand menjelaskan bahwa pada tahun 1183-1184 M, gubernur Aden juga telah mendirikan madrasah untuk m adzab hanafi di mekkah. Dan setahun kemudian ia membangun madrasah untuk madzab syafi’i.  (Hillabrand, 1986: 1127). Berikut adalah Madrasah-madrasah Di Mekkah Periode Pertengahan. Pada periode ini, terdapat setidaknya 23 madrasah yang dikenal luas di Mekkah. Berikut penulis sebutkan tahun berdirinya, pendirinya, lokasi serta masa pemerintahan yang berperan dalam mendirikan madrasah-madrasah tersebut.
1.      Madrasah al-Arsufi (1175 M) Ini adalah madrasah yang paling tua yang berdiri di Mekkah, yang berdiri kira-kira pada tahun 1175 M. madrasah ini bertempat di sekitar bab al-Umra, salah satu pintu gerbang Masjidil Haram yang terletak pada arah timur laut. Madrasah ini mempunyai ribat yang disebut ribat Abi Ruqaibah. Setahun sebelum Afif Al-Ursufi mendirikan sebuah madrasah di Kairo. Literatur lain menyebutkan bahwa sejak pembangunan madrasah Al-Ursufiyah hingga awal abad ke-17 terdapat setidaknya 19 madrasah di Mekkah. Adapun pendiri madrasah ini adalah Al-Afif Abdullah Muhammad Al-Arsufi, seorang berkebangsaan Syria, ia pernah menuntut ilmu di Mesir, dan meninggal pada tahun 1197 M. Al-Arsufi dikenal sebagai seorang ulama yang berjuang untuk Islam di Mesir dan Hijaz.
2.      Madrasah Amir al-Zanjili (1183 M) Dengan mengambil lokasi yang tidak jauh dengan Bab al-Umra, madrasah al-Zanjili adalah madrasah yang didedikasikan untuk mengajarkan dan mengembangkan keilmuan madzhab Hanafi, dan diformulasikan sebagai sarana untuk mengajarkan hukum-hukum Islam.  Madrasah ini didirikan oleh seorang syeikh Mekkah bernama Amir Fakhruddin Usman bin Ali Al-Zanjili. Ia diangkat sebagai Gubernur di Aden oleh dinasti Ayyubiyah pada saat Salahuddin Al-Ayyubi menaklukkan Hijaz. Al-Zanjili meninggal di Damaskus pada tahun 1187 M. Madrasah ini juga dikenal sebagai Dar al-Silsilah.
3.      Madrasah Tab al-Zaman al-Habasiyah (1184 M) Madrasah ini didirikan oleh seorang wanita dari dinasti Abbasiyah, pada tahun 1184 M. pada tahun tersebut ia mendirikan madrasah tersebut untuk mengajarkan sepuluh orang siswa tentang fiqih Syafi’i. madrasah ini dibangun di dekat monumen Zubaidah, istri dari Harun Ar-Rasyid, yang terletak di sebelah barat daya dari masjidil Haram.
4.      Madrasah Muzaffar al-Din (1208 M) Madrasah ini hanya diketahui melalui data arkeologi yang terdapat pada museum di masjid besar Mekkah. Tidak ditemukan sumber literatur yang dapat mendeskripsikan madrasah ini. Madrasah ini didirikan pada tahun 1208 M oleh Muzaffar al-Din, seorang penguasa di kota Arbil, sebuah kota besar di Iraq.  Al-Malik al-Mu’azzam Muzaffar al-Din Kukaburi telah diamanati untuk memegang kontrol pemerintahan di kota Irbil oleh kesultanan Ayyubiyah pada tahun 1190 M. Dia telah membangun banyak sekali fasilitas umum, terutama dalam bidang pendidikan, dan salah satunya adalah madrasah ini. Ia meninggal pada tahun 1233 M.
5.      Madrasah al-Nihawandi (1231 M) Dalam bukunya Sifa’ al-Gharam, Al-Fasi menjelaskan bahwa madrasah ini berlokasi di sekitar al-Duraybi, sebelah utara masjidil Haram. Sejarawan memperkirakan madrasah ini mampu bertahan hingga 200 tahun. Madrasah ini didirikan oleh seorang ulama dari Iran, tepatnya dari kota Nihawand.
6.      Madrasah Abu Ali bin Abi Zakariya (1237 M) Didirikan pada tahun 1237 M, madrasah ini berdekatan dengan madrasah Mujahidiyah di sepanjang bagian selatan dari masjid besar al-Haram. Al-fasi yang mengumpulkan data yang dihimpunnya dari penelitian prasasti yang dipelajarinya, menjelaskan bahwa Abu Ali bin Abi Zakariya telah digambarkan sebagai sosok Imam yang Syahid.
7.      Madrasah Ibnu Al-Haddad al-Mahdawi (1240 M) Pada sisi sebelah barat dari masjidil Haram, Abdul Haq bin Abdul Rahman bin Al-Haddad Al-Mahdawi mendirikan sebuah madrasah yang tertutup oleh sekolah yang didirikan oleh Arsufi. Madrasah ini memfokuskan perkuliahan pada fiqih-fiqih madzhab Maliki, tidak ada yang mengetahui mengenai jati diri pendiri madrasah ini kecuali bahwa ia adalah seorang syeikh yang shaleh, terpercaya dan teguh pendirian.
8.      Madrasah Amir Fakhr al-Din al-Shallah (1242 M) Fakhr al-Din al-Shallah adalah seorang dari dinasti Mamluk yang keturunan Malik Al-Mansur Umar bin Ali, pendiri dinasti Rasulid di Yaman. Ia mengabdi sebagai Gubernur di Mekkah dari tahun 1242-1249 M, selama masa tersebut, kota suci berada pada kekuasaan dinasti Rasulid. Hanya sedikit yang dapat diketahui dari madrasah ini, selain bahwa madrasah ini terletak di sebelah barat masjidil Haram, mengajarkan fiqih madzhab Syafi’i dan hadis Nabawi. Ayah As-Shallah juga turut ambil bagian dalam memajukan madrasah ini, terutama dengan banyak memberi bantuan dana pendidikan.
9.      Madrasah Malik Al-Mansur (1243 M) Madrasah ini didirikan oleh Malik Al-Mansur Umar bin Ali bin Rasul pada tahun 1243 M. terletak di sebelah barat dari masjid besar, berdekatan dengan al-Umra dan madrasah al-Zanjili. Fiqih madzhab Syafi’i dan studi hadis Nabawi menjadi kurikulum pada institusi ini. Meskipun menurut catatan Al-Fasi, pembelajaran hadis pada madrasah ini telah dimulai sejak putra Al-Mansur, yakni Malik Al-Muzaffar. Madrasah ini dipelihara oleh dua dinasti sekaligus, yaitu dinasti Ayyubiyah dan Mamluk di Mesir, juga dinasti Rasulid di Yaman. Madrasah ini banyak dijadikan tempat belajar para peziarah dari Afrika Utara selama mereka berada di Mekkah.
10.  Madrasah Malik Al-Muzaffar (1249 M) Ibnu Bathutha adalah penulis abad pertengahan yang menyebutkan nama madrasah ini. Madrasah ini didirikan oleh sultan kedua dinasti Rasulid, yaitu Malik al-Muzaffar Yusuf bin Umar. Sayangnya, tidak ditemukan data yang menjelaskan mengenai kurikulum yang diterapkan dan fasilitas yang disediakan untuk para siswa pada madrasah ini.
11.  Madrasah Arghun Shah al-Nasiri (1320 M) Amir Arghun Shah adalah perwakilan pertama dari dinasti Mamluk yang mempelopori berdirinya universitas di Mekkah. Sebenarnya ia adalah salah seorang pejabat sultan Mamluk yang mengabdi sebagai wakil Gubernur Mesir selama 16 tahun, dan di Aleppo selama 4 tahun. Kemudian ia meminta izin untuk mengajar hukum Islam dan memberi fatwa di Mekkah. Kemampuannya dalam bidang hukum Islam adalah sehebat kedudukannya di pemerintahan Mamluk. Menurut data Al-Fasi, madrasah Arghun ini berdiri pada tahun 1320 M, yang berlokasi di sisi utara Masjidil Haram berdekatan dengan makam sahabat besar Nabi, Abdullah bin Zubair, yang disebut dengan Dar al-Ajala. Madrasah ini menerapkan ajaran fiqih madzhab Hanafi sebagai kurikulum yang diajarkan. Madrasah ini juga mendapatkan pengawasan secara khusus dari lembaga peradilan dan fatwa yang bermadzhab Hanafi di Kairo.
12.  Madrasah Malik Al-Mujahid (1338 M) Pada tahun 1338 M, sultan Rasulid dari Yaman, Malik al-Mujahid Ali bin Daud (1322-1363 M) mendirikan sebuah madrasah di sebelah selatan dinding masjidil Haram. Dari situ maka kemudian pintu Masjidil Haram yang yang bernama Bab al-Rahmah, justru terkenal dengan sebutah Bab al-Mujahidiyyah. Hukum Islam madzhab Syafi’i menjadi kurikulum yang diajarkan di madrasah tersebut. M.   Madrasah Malik al-Afdhal Abbas (1366 M) Sultan Rasulid, Malik al-Afdhal Abbas (1364-1376 M) mendirikan sebuah madrasah di sebelah timur gerbang utama Masjidil Haram. Konsentrasi yang diajarkan adalah fiqih Syafi’i. pembelajaran dilakukan dengan menggaji seorang syeikh atau profesor hukum madzhab Syafi’i, dan didampingi oleh seorang asistennya. Selain itu, madrasah ini memfokuskan kurikulumnya pada pengajaran ilmu-ilmu al-Qur’an dan pendalaman bagi seorang Imam.
13.  Madrasah Ajlan bin Rumaytha (sekitar pertengahan abad 18) Sejak berdirinya dinasti Hasanid di Mekkah pada pertengahan abad ke-empat belas, beberapa daerah bagian dari kekuasaan Hasanid sukses dalam memerintah wilayah Emirat, sehingga madzhab Syi’ah Zaidiyah berhasil menguasai wilayah di sekitarnya. Hal inilah tampaknya yang menyebabkan tidak berdirinya madrasah-madrasah di Mekkah selama periode tersebut. Yang bisa disaksikan adalah lembaga pendidikan pada masa itu hanya bertumpu pada beberapa sekolah hukum Islam yang beraliran Sunni. Pada waktu itulah, seorang penguasa Mekkah yang bermadzhab Syafi’i, yaitu Ajlan bin Rumaytha , dengan dibantu saudaranya yang bernama Thabaqa dan anaknya yang bernama Ahmad, mendirikan sebuah madrasah yang pada awalnya dimaksudkan untuk melawan perkembangan ajaran Syi’ah Zaidiyah. Madrasah ini eksis pada tahun 1345-1375 M. Namun sayangnya, antara tahun itu madrasah Ajlan justru mendapat saingan yang kuat dari para penerus madrasah Mujahidiyahdi bagian selatan pintu utama Masjidil Haram. 
14.  Madrasah Sharif Jar Allah (1387 M) Pada tahun 1387-1388 M Syarif Abu Munif Jar Allah bin Hamzah bin Rajih bin Abi Numay mendirikan sebuah madrasah disepanjang tembok sebelah utara Masjid Besar, berdekatan dengan Dar al-Ajala. Menurut sejarahnya, madrasah ini pernah digunakan sebagai kontrol politik emirat atas kota Mekkah.
15.  Madrasah Sharif Hasan bin Ajlan (sebelum tahun 1400 M) Madrasah ini didirikan oleh Sharif Hasan bin Ajlan, dan beraktivitas sekitar tahun 1395 hingga 1400 M. Dalam literatur yang ditulis oleh Umar Fahd, Hasan bin Ajlan mendirikan madrasah ini setelah penaklukkan Emirat atas kota suci Mekkah, selama beberapa tahun lamanya.
16.  Madrasah Bangaliya (1410 M) Madrasah atau universitas yang pertama kali – dari tiga universitas – yang didirikan oleh muslim India adalah madrasah Bangaliya. Madrasah ini didirikan oleh sultan besar kesultanan Ilyas Shah di Bengal, yang bernama Ghiyath al-Din Abu al-Muzaffar Azam Shah (1390-1411 M). Dia adalah orang pertama yang membangun model pembelajaran tingkat perguruan tinggi pertama pada masa awal berdirinya. Madrasah ini mengajarkan ajaran keempat madzhab sekaligus sebagai kurikulumnya. Adapun pengajar madzhab Syafi’i adalah Jamaluddin Muhammad bin Abdullah bin Zahira (1350-1414 M). Sedangkan pengajar dari madzhab Hanafi adalah Syihabuddin Ahmad Al-Diya (1348-1422 M), seorang ulama berkebangsaan India. Kemudian pengajar madzhab Maliki adalah Taqiuddin Muhammad bin Ahmad Al-Fasi (1373-1429 M), seorang ahli sejarah Mekah. Dan pengajar madzhab Hambali adalah Sirajuddin Abdul Latif bin Abi Fath Muhammad bin Ahmad Al-Hasani Al-Fasi (1377-1449 M), seorang hakim dan ahli hukum bermadzhab Hambali di Mekkah. Selain membangun madrasah di Mekkah, sultan ini juga mendirikan sebuah madrasah di Madinah. Sultan membangun madrasah di Madinah lengkap dengan ribatnya. Madrasah A’zham Syah di Madinah, yang dibangun pada waktu hampir bersamaan dengan madrasah di Mekkah, terletak di dekat kawasan Bab Al-Salam, Masjid Nabawi.
17.  Madrasah Gulbargiyya (1427 M) Madrasah ini didirikan oleh sultan Gulbarga dari India, yaitu Shihabuddin Abu Al-Maghazi Ahmad Shah (1422-1436 M). Syeikh yang mengajar di madrasah ini yang terkenal adalah syeikh Jalaluddin Abdul Wahid Al-Mursidi, seorang pengikut madzhab Hanafi dan guru tata bahasa Arab. Pelajaran yang diajarkan pada madrasah ini adalah tafsir al-Qur’an, hukum Islam dan tata bahasa Arab. Apa yang diajarkan di madrasah ini berdasarkan instruksi langsung dari sultan Gulbargiyah di India.
18.  Madrasah Basitiyah (1431 M) Sebenarnya madrasah ini adalah kelanjutan dari madrasah Amir Arghun Shah yang kemudian dikonstrusi oleh Abdul Basith. Proses renovasi yang dimulai pada tahun 1431-1432 M, telah berhasil diselesaikan pada tahun berikutnya. Syeikh besar bermadzhab Syafi’i yang bernama syeikh Jalaluddin Abu Sa’adat Muhammad bin Zahra, adalah orang pertama yang menjadi guru pada madrasah tersebut.
19.  Madrasah Zimamiyah (1431 M) Madrasah Zimamiyah didirikan pada tahun 1431-1432 M, oleh Amir Khusqadam bin Abdullah Al-Zahiri, seorang hakim kesultanan Mamluk. Pada mulanya madrasah Khusqadam adalah sebuah universitas yang didirikan oleh Sharif Jar Allah pada tahun 1387 M yang mengambil tempat di sebelah utara gerbang masjid besar. Seorang pakar sejarah Mekkah, Najmuddin Umar bin Fahd menggambarkan madrasah ini sebagai tempat orang-orang miskin dan para sufi berkumpul untuk mengkaji dan mendalami al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama, setiap sore hari mereka berkumpul di madrasah ini.
20.  Madrasah Utaifiyah (1456 M) Pendirinya adalah Zainab bin Badruddin Hasan bin Khasbak, seorang permaisuri kesultanan Mamluk (1453-1461 M). Sangat disayangkan sumber literatur yang ada tidak banyak menggambarkan latar belakang madrasah ini.
21.  Madrasah Sultan Cambay (1461 M) Pendirinya adalah Ghiyath al-Din Muhammad Shah, seorang sultan Cambay di India. Madrasah ini selain mendidik banyak murid dalam bidang tasawuf, juga mengajarkan khazanah keilmuan madzhab Hanafi. Penataan siswa pada madrasah ini juga dilakukan secara lebih teratur. Ada yang pengajaran dilakukan setelah shalat asar, ada juga yang dilakukan setiap hari. Ada kelas untuk siswa-siswa yang tidak punya, ada juga kelas untuk siswa yang memiliki cukup bekal untuk belajar.
22.  Madrasah Sultan Qa’itbay (1480 M) Madrasah ini didirikan oleh sulta Mamluk yang bernama Malik Al-Ashraf Qa’itbay, yaitu ketika ia mengutus wakilnya ke Hijaz yang bernama Syamsuddin Muhammad bin Umar bin Al-Zaman. Ibnu Al-Zaman dalam pendirian madrasah ini memilih tempat di sebelah timur Masjidil Haram. Madrasah ini memiliki satu ruang besar untuk kuliah umum, 72 ruang kelas untuk guru dan murid, dan 4 perpustakaan untuk masing-masing madzhab Sunni.
Madrasah Qa’itbay pada umumnya terkenal dengan nama Ashrafiyah setelah sultan Malik Al-Ashraff membangun ribat Al-Maraghi tidak jauh dari lokasi madrasah tersebut. Sebagaimana madrasah Bangaliyah, madrasah ini juga mengajarkan keilmuan empat madzhab terutama dalam bidang hukum Islam. Madrasah yang megah ini mengalami kerusakan dalam 70 tahun. Akhirnya madrasah ini dijual dan dijadikan asrama jamaah haji dari Mesir. Namun kemudian pada pertengahan abad ke-19 M, Hasyib Pasya mengembalikan kompleks bangunan Qa’itbay ini kepada fungsinya semula sebagai madrasah, dengan mewaqafkan sejumlah besar dana.
C.     MADRASAH DI MADINAH
Jika dibandingkan dengan mekkah, perkembangan madrasah dimadinah terlihat lebih gelap. Pasalnya, sumber-sumber yang berhubungan dengan sejarah madinah pada umumnya tidak membahas tentang hal tersebut. Namun, dari hasil pelacakannya, Azyumardi hanya memperoleh beberapa informasi sebagai berikut (Azyumardi azra, 2004: 120).
Pertama, dari buku The Travels Of Ibnu Jubayr, Aazyumardi memperoleh informasi bahwa ibnu jubayr telah menghadiri kegiatan perkuliahan di Mekah dan Madinah pada tahun 579 H/ 1183M. Namun, nama madrasah tersebut tidak dijelaskan secara eksplisit.
Kedua, The Travels Of Ibnu Battutah,  Azyumardi juga memperoleh informasi bahwa Ibnu Battutah yang berada di madinah menjelang ahir tahun 728H/ 1326 M, sering mengamati kegiatan keilmuan yang diselenggarakan dimasjid al-nabawi dalam bentuk halaqah, lengkap dengan al-quran dan kitab-kitab lainnya.
Ketiga, dari buku Al-iqd Al Stamin fi tarikh Al Balad Al-Amin, Azyumardi memperoleh informasi bahwa selain membangun madrasah di Mekkah, sultan Ghiyats Al Din juga mendirikan madrasah di Madinah yang terletak dikawasan Bab Al-salam, masjid Al-Nabawi. Masjid ini dikenal dengan nama A’dzam Syah. Informasi ini juga ditemukan oleh Azyumardi dalam buku wafa al-wafa.
Keempat, dari buku yang yang terahir ini, Azyumardi memperoleh informasi bahwa diantara wilayah Dar Al-syibak dan Al Husn Al Atiq, penguasa Mamluk juga pernah mendirikan sebuah madrasah yang bernama madrasah Jaubaniyyah. Penguasa Mamluk lainnya juga melakukan hal yang sama sehingga secara kolektif madrasah-madrasah tersebut dikenal dengan nama madrasah Asyafi’iyah.
Kelima, dari buku Tuhfat Allathifah Fi Tarikh Al-Madinah Al-Syarifah, Azyumardi memperoleh informasi tentang adanya beberapa nama madrasah yang pernah didirikan di Madinah yaitu: madrasah Qeit Bey, madrasah Albasithiyah yang didirikan Zayni Abd Al- Basith, madrasah Al-Zamaniyah yang didirikan oleh Syams Al-Din Al Zaman, Al-Sanjariyah, Al-Syahabiyah, dan Al-Mazhariyah yang didirikan oleh Zayni Katib.
Keenam, dari Buku Travels In Arabia, Azyumardi memperoleh informasi tentang adanya madrasah Al-Hamdiyah yang didirikan oleh salah seorang penguasa usmani.
D.    KONTEKS MASYARAKAT MEKAH DAN MADINAH
Pembahasan tentang konteks sosial Makah dan Madinah, dalam usaha memahami perkembangan madrasah Haramayn secara lebih objektif dan komprehensif memang sangat signifikan. Hal ini mengingat perkembangan madrasah bukanlah  sesuatu yang bersifat konstan melainkan dinamis. Dengan pemahaman konteks tersebut diharapkan akan diperoleh sebuah perspektif yang tidak bersifat simplified. Dalam hal ini, menurut Azzyumardi Azra, setidaknya ada beberapa hal yang bisa dijadikan sebagai pisau analisis. Yaitu:
A.    Sosial politik
Dalam kacamata sosial politik, tumbuh dan berkembangnya madrasah haramayn tidak bisa lepas dari hal sebagai berikut:
Pertama, perubahan situasi menjelang abad ke-II seiring dengan diraih kembalinya kontrol politik penguasa Sunni atas sebagaian besar wilayah Timur. Sebagaimana diketahui sejak abad ke sembilan, situasi politik di Hijaz hususnya di Makkah, sangat buruk. Beberapa tahun kemudian, tepatnya awal abad ke-10, kaum Syiah muncul dan menguasai sebagaian wilayah Timur Tengah; dinasti Fatimiyah di Mesir dan Afrika, sedangkan dinasti Buwaihiyah di Irak Iran dan bahkan mendikte khalifah sunni di Baghdad.
Kenyataan diatas, benar- benar menjadi sebuah pukulan moral bagi mayoritas kaum Sunni. Terlebih mereka yang berada di Hijaz harus berhadapan dengan syiah Qarmathiyah yang cenderung bersifat kasar dan toleran sebagaimana syiah Fathimiyah. Perlakuan kelompok syiah Qarmmathiyah yang kemudian menjadikan dampak negatif substansial bagi masyarakat sunni Haramayn. Baik dari sisi ekonomi maupun pendidikan. Dan situasi ini mulai berubah semenjak kekuasaan atas kontrol politik kembali dipegang oleh penguasa sunni (Azyumardi Azra, 2004:54).
Kedua, kembalinya para ulama Sunni kekota Makah dan Madinah setelah mengembara kemana-mana selama masa-masa sulit.
Ketiga, patronase penguasa atau dermawan non hijazi terhadap perkembangan madrasah. Dalam hal ini, Azyumardi menjelaskan bahwa ciri terpenting madrasah di Haramayn, hususnya di Makah adalah, hampir seluruh madrasah dibangun oleh penguasa atau dermawan non-Hijazi. Selain itu, sumber dana pendidikan di madrasah haramayn sangat tergantung pada waqaf yang diberikan oleh mereka. Akibatnya, dari segi keuangan madrasah cenderung rapuh.
B.     Wacana keagamaan
Salah satu kebijakan yang masyhur di keluarkan oleh dinasti Saljuq adalah kembali pada ortodoksi sunni. Bahkan untuk menunjang pelaksanaan kebijakan tersebut, pendirian madrasah Nizamiyah pun diorientasikan pada tujuan politis yang demikian. Lebih dari itu perkembangan madrasah ditempat lain, termasuk di Haramayn, juga diorganisasikan dalam garis kebijakan yang sama. (Azzyumardi Azra, 2004:62). Dari sini dapat disimpulkan bahwa madrasah Haramayn tumbuh dan berkembang dalam iklim wacana keagamaan yang bersifat indoktrinasi dalam ortodoksi islam, jauh berbeda dengan iklim di awal masa kekuasaan Abbasiyah.
Implikasi terpenting dalam hal ini adalah, semakin surut dan hilangnya tradisi penelitian dalam dunia islam yang ernah berkembang sebelumnya. Selain itu, dinamisme, kreatifitas, progresifitas, serta kebebasan berfikir dan berinvestigasi juga semakin terbatasi oleh ortodoksi.
Meminjam istilah Muhammad Arkoun, masyarakat muslim terus hidup dalam epistimologi (Muhammad arkoun, 1999) thinkble, dan tidak pernah mau menyentuh epistema unthinkable dan not yet thought. Dan berawal dari menyerahnya unsur-unsur dinamisme dan kebebasan pada konsep-konsep yang bersifat statis dan ortodoktif inilah, obor keilmuan diserahkan pada renaissans eropa (Mehdi Nakosten, 1996).
C.     Peran dan fungsi lembaga pendidikan (Madrasah)
Dalam teori managemen, untuk menjadi sebuah pusat peradaban, lembaga pendidikan (madrasah) tidak hanya harus memainkan peran sebagai sebuah lembaga pembudayaan saja. Lebih dari itu, dia juga harus memainkan fungsi dan perannya sebagai lembaga pendidikan dan pengetahuan, dan ketiga peran tersebut sejatinya harus dimainkan secara integrated serta membentuk sebuah sinergi yang bersifat positif (Malik fadjar, 2004).
Berawal dengan teori ini, kita dapat menganalisis peran lembaga pendidikan sunni, termasuk didalamnya adalah madrasah yang berkembang di Makkah dan Madinah. Apakah sudah memainkan ketiga peran tersebut, atau ternyata terjebak hanya dalam peran pembudayaan saja.
Menurut Azyumardi Azra, semenjak berdirinya An-Nizamiyah, madrasah hususnya yang berafiliasi dengan sunni, cenderung hanya berfungsi sebagai: Pertama, transfer ilmu dan ajaran islam. Kedua, pemeliharaan tradisi islam. Ketiga, reproduksi ulama. Sementara itu, tradisi penelitian yang menjadi prasyarat utama bagi perkembangan ilmu pengetahuan justru tidak terjadi. Hal ini tentunya tidak dilepaskan dari sedemikian kuatnya gerakan ortodoksi pada saat itu, jadi tidak berlebihan seandainya disimpulkan bahwa madrasah Haramayn dalam sejarah perkembangannya, baru memainkan peran pembudayaan dan pengetahuan, serta belum memainkan peran pendidikannya secara optimal.

PENUTUP
KESIMPULAN
Sejarah perkembangan madrasah Haramayn ternyata tidak bisa dilepaskan dari pengaruh kontek sosial yang melingkupinya. Selain pengaruh kebijakan Al-Nizamiyah di Baghdad, dari pembahasan ini, bisa dipahami bahwa pilihan sunni sebagai madzab juga tidak bisa dilepaskan dari trauma politik terhadap kekerasan yang pernah dilakukan oleh syiah Qarmathiyah.
Pilihan madzab inilah yang kemudian berimplikasi pada menguatnya wacana keagamaan yang dipengaruhi oleh ortodoksi, jauh dari kebebasan dan penelitian. Dan dari sinilah peran madrasah terjebak pada domain pembudayaan, belum pada pendidikan dan pengetahuan.
Sebenarnya kebanyakan madrasah di Mekkah cukup rapuh dari segi keuangan. Ini karena mereka hampir sepenuhnya tergantung pada waqaf, yang kebanyakan diberikan oleh para penguasa dan dermawan non-Hijazi. Seringkali madrasah terlantar karena kurangnya bantuan waqaf yang kontinyu atau lemahnya pengawasan. Meskipun sejak masa Turki Usmani waqaf telah dikelola oleh pemerintah Usmani, namun penyimpangan dan salah urus harta waqaf merupakan hal yang biasa terjadi.
Tak terelakkan lagi, ini mengakibatkan ambruknya pengelolaan waqaf, dan konsekwensinya adalah kemunduran bahkan penutupan madrasah itu yang terjadi. Karenanya, meskipun terdapat banyak madrasah, kebanyakan ulama Haramain lebih senang mengafiliasikan diri dengan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi yang jauh lebih aman secara finansial. Sebab itu pula mereka lebih banyak melakukan kegiatan pengajaran di masjid-masjid ini daripada di madrasah-madrasah

Tidak ada komentar: