BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Belajar adalah kegiatan
yang berproses dan merupakan unsure yang sangat fundamental dalam setiap
penyelenggaraan jenis dan jenjang pendidikan. ini berarti bahwa berhasil atau
gagalnya pencapaian tujuan pendidikan itu amat bergantung pada proses belajar
yang dialami siswa, baik ketika ia berada dalam sekolah maupun di lingkungan
rumah atau keluarga sendiri.
Pada
masa sekarang ini banyak sekali anak-anak mengalami kesulitan dalam belajar.
Hal tersebut tidak hanya dialami oleh siswa-siswa yang berkemampuan kurang
saja. Hal tersebut juga dialami oleh siswa-siswa yang berkemampuan tinggi.
Selain itu, siswa yang berkemampuan rata-rata juga mengalami kesulitan dalam
belajar. Sedang yang namanya kesulitan belajar itu merupakan kondisi proses
belajar yang ditandai oleg hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai
kesuksesan.
Kesulitan
belajar ini tidak selalu disebabkan oleh faktor intelegensi yang rendah
(kelainan mental) akan tetapi juga disebabkan oleh faktor-faktor
non-intelegensi. Dengan demikian, IQ yang tinggi belum tentu mendapat jaminan
keberhasilan belajar, karena dalam rangka
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa pengertian kesulitan belajar?
2.
Apa sajakah faktor-faktor kesulitan belajar?
3.
Bagaimanakah diagnosis kesulitan belajar?
4.
Bagaimana mengatasi kesulitan belajar?
C.
Tujuan
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
belajar
Setiap siswa pada prinsipnya tentu berhak
memperoleh peluang untuk mencapai kinerja akademik (academic performance) yang
memuaskan. Namun, dari kenyataan sehari-hari tampak jelas bahwa siswa itu
memiliki perbedaan dalam hal kemampuan intelektual, kemampuan fisik, latar
belakang keluarga, kebiasaan dan pendekatan belajar yang terkadang sangat
mencolok antara seorang siswa dengan siswa lainnya.
Sementara itu, penyelenggaraan pendidikan di
sekolah-sekolah kita pada umumnya hanya ditujukan kepada para siswa yang
berkemampuan rata-rata, sehingga siswa yang berkemampuan lebih atau yang
berkemampuan kurang itu terabaikan. Dengan demikian, siswa-siswa yang
berkategori “di luar rata-rata” itu (sangat pintar dan sangat bodoh) tidak
mendapat kesempatan yang memadai untuk berkembang sesuai dengan kapasitasnya.
Kesulitan belajar adalah kondisi dimana anak
dengan kemampuan intelegensi rata-rata atau di atas rata-rata, namun memiliki
ketidakmampuan atau kegagalan dalam belajar yang berkaitan dengan hambatan
dalam proses persepsi, konseptualisasi, berbahasa, memori, serta pemusatan
perhatian, penguasaan diri, dan fungsi integrasi sensori motorik (Clement,
dalam Weiner, 2003). Berdasarkan pandangan Clement tersebut maka pengertian
kesulitan belajar adalah kondisi yang merupakan sindrom multidimensional yang
bermanifestasi sebagai kesulitan belajar spesifik (spesific learning
disabilities), hiperaktivitas dan/atau distraktibilitas dan masalah emosional
Dari sini timbullah apa yang disebut kesulitan
belajar (learning difficulty) yang tidak hanya menimpa siswa berkemampuan
rendah saja, tetapi juga dialami oleh siswa yang berkemampuan tinggi. Selain
itu kesulitan belajar juga dapat dialami oleh siswa yang berkemampuan rata-rata
(normal) disebabkan oleh faktor-faktor tertentu yang menghambat tercapainya
kinerja akademik yang sesuai dengan harapan.
B.
Faktor-faktor
Kesulitan Belajar
Fenomena kesulitan belajar seorang siswa biasanya
tampak jelas dari menurunnya kinerja akademik atau prestasi belajarnya. Namun,
kesulitan belajar juga dapat dibuktikan dengan munculnya kelainan perilaku
(misbehavior) siswa seperti kesukaan berteriak-teriak di dalam kelas, mengusik
teman, berkelahi, sering tidak masuk kuliah, dan sering minggat dari sekolah.
Secara garis besar, faktor-faktor penyebab
timbulnya kesulitan belajar terdiri atas dua macam;
1. Faktor intern siswa,
yakni hal-hal atau keadaan-keadaan yang muncul dari dalam siswa sendiri.
2. Faktor ektern siswa,
yakni hal-hal atau keadaan-keadaan yang datang dari luar diri siswa.
Kedua faktor ini meliputi aneka ragam hal dan
keadaan yang antara lain tersebut dibawah ini.
a.
Faktor intern siswa
Faktor intern siswa meliputi
gangguan atau ketidakmampuan psiko-fisik siswa, yakni:
1. Yang bersifat kognitif
(ranah cipta), antara lain seperti rendahnya kapasitas intelektual/intelegensi
siswa;
2. Yang bersifat afektif
(ranah rasa), antara lain seperti labilnya emosi dan sikap;
3. Yang bersifat psikomotor
(ranah karsa), antara lain seperti terganggunya alat-alat indera penglihatan
dan pendengar (mata dan telinga)
b.
Fisiologi
Faktor fisiologi adalah factor fisik dari anak
itu sendiri. seorang anak yang sedang sakit, tentunya akan mengalami kelemahan
secara fisik, sehingga proses menerima pelajaran, memahami pelajaran menjadi
tidak sempurna. Selain sakit factor fisiologis yang perlu kita perhatikan
karena dapat menjadi penyebab munculnya masalah kesulitan belajar adalah cacat
tubuh, yang dapat kita bagi lagi menjadi cacat tubuh yang ringan seperti kurang
pendengaran, kurang penglihatan, serta gangguan gerak, serta cacat tubuh yang
tetap (serius) seperti buta, tuli, bisu, dan lain sebagainya.
c.
Psikologis
Faktor psikologis adalah berbagai hal yang
berkenaan dengan berbagai perilaku yang ada dibutuhkan dalam belajar.
Sebagaimana kita ketahui bahwa belajar tentunya memerlukan sebuah kesiapan,
ketenangan, rasa aman. Selain itu yang juga termasuk dalam factor psikoogis ini
adalah intelligensi yang dimiliki oleh anak. Anak yang memiliki IQ cerdas (110
– 140), atu genius (lebih dari 140) memiliki potensi untuk memahami pelajaran
dengan cepat. Sedangkan anak-anak yang tergolong sedang (90 – 110) tentunya
tidak terlalu mengalami masalah walaupun juga pencapaiannya tidak terlalu tinggi.
Sedangkan anak yang memiliki IQ dibawah 90 atau bahkan dibawah 60 tentunya
memiliki potensi mengalami kesulitan dalam masalah belajar. Untuk itu, maka
orang tua, serta guru perlu mengetahui tingkat IQ yang dimiliki anak atau anak
didiknya. Selain IQ factor psikologis yang dapat menjadi penyebab munculnya
masalah kesulitan belajar adalah bakat, minat, motivasi, kondisi kesehatan
mental anak, dan juga tipe anak dalam belajar.
d.
Faktor ektern siswa
Faktor ektern siswa meliputi semua situasi dan
kondisi lingkungan sekitar yang tidak mendukung aktivitas belajar siswa. Dari
lingkungannya dibagi menjadi 3 macam:.
1. Lingkungan keluarga,
contohnya: ketidakharmonisan hubungan antara ayah dan ibu, dan rendahnya
kehidupan ekonomi keluarga.
2. Lingkungan
perkampungan/masyarakat, contohnya: wilayah perkampungan kumuh (slum area), dan
teman sepermainan (peer group) yang nakal.
3. Lingkungan sekolah,
contohnya: kondisi dan letak gedung yang buruk seperti dekat pasar, kondisi
guru serta alat-alat belajar yang berkualitas rendah.
Adapun faktor-faktor ekternnya adalah sebagai berikut:
1.
Social. Yaitu faktor-faktor seperti cara mendidik anak oleh orang tua
mereka di rumah. Anak-anak yang tidak mendapatkan perhatian yang cukup tentunya
akan berbeda dengan anak-anak yang cukup mendapatkan perhatian, atau anak yang
terlalu diberikan perhatian. Selain itu juga bagimana hubungan orang tua dengan
anak, apakah harmonis, atau jarang bertemu, atau bahkan terpisah. Hal ini
tentunya juga memberikan pengaruh pada kebiasaan belajar anak
2.
Non-social Faktor-faktor non-sosial yang dapat menjadi
penyebab munculnya masalah kesulitan belajar adalah factor guru di sekolah,
kurikulum dan sebagainya. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh para
ahli yang menaruh perhatian terhadap masalah kesulitan belajar, ditemukan
sejumlah faktor penyebabnya, diantaranya
a) Keturunan
Di Swedia, Hallgren melakukan penelitian dengan
objek keluarga dan menemukan rata-rata anggota tersebut mengalami kesulitan
dalam membaca, menulis dan mengija, setelah diteliti secara lebih mendalam,
ternyata salah satu faktor penyebabnya adalah faktor keturunan.
b) Otak
Ada pendapat yang menyatakan bahwa anak yang
lamban belajar mengalami gangguan pada syaraf otaknya. Pendapat ini telah
menjadi perdebatan yang cukup sengit. Beberapa peneliti menganggap bahwa
terdapat kesamaan ciri pada perilaku anak yang mengalami kelambanan atau
kesulitan belajar dengan anak yan ab-normal. Hanya saja anak yang lamban atau
kesulitan belajar memiliki adanya sedikit tanda cedera pada otak, oleh karena itu
para ahli tidak terlalu menganggap cedera otak sebagai penyebabnya, kecuali
ahli syaraf membuktikan ini.
c)
Pemikiran
Siswa yang mengalami kesulitan belajar akan
menmgalami kesulitan dalam menerima penjelasan tentang pelajaran. Salah satu
penyebabnya adalah mereka tidak dapat mengorganisasikan cara berpikir secara
baik dan sistematis. Para ahli berpendapat bahwa mereka perlu dilatih
berulang-ulang, dengan tujuan meningkatkan daya belajarnya.
d)
Gizi
Berdasarkan penelitian para ahli yang dilakukan
terhadap anak-anak dan binatang, ditemukan bahwa ada kaitan yang erat antara
kesulitan belajar dengan kekurangan gizi. Artinya, kekurangan gizi menjadi
salah satu penyebab terjadinya kelambanan atau kesulitan belajar.
e)
Lingkungan
Faktor-faktor lingkungan adalah hal-hal yang
tidak menguntungkan yang dapat nengganggu perkembngan mental anak, baik yang
terjadi di dalam keluarga, sekolah maupun lingkungan masyarakat. Meskipun
faktor ini dapat pengaruhi kesulitan belajar, tetapi bukan satu-satunya faktor
penyebab terjadinya kesulitan belajar. Namun, yang pasti faktor tersebut dapat
mengganggu ingatan dan daya konsentrasi anak.
f)
Biokimia
Pengaruh penggunaan obat atau bahan kimia lain
terhadap kesulitan belajar masih menjadi kontroversi. Penelitian yang dilakukan
oleh Adelman dan Comfers (dalam Kirk & Ghallager, 1986) menemukan bahwa
obat stimulan dalam jangka pendek dapat mengurangi hiperaktivitas. Namun
beberapa tahun kemudian penelitian Levy (dalam Kirk & Ghallager, 1986)
membuktikan hal yang sebaliknya. Penemuan kontroversial oleh Feingold
menyebutkan bahwa alergi, perasa dan pewarna buatan hiperkinesis pada anak yang
kemudian akan menyebabkan kesulitan belajar. Ia lalu merekomendasikan diet
salisilat dan bahan makanan buatan kepada anak-anak yang mengalami kesulitan
belajar.
Selain faktor-faktor yang bersifat umum diatas,
adapula faktor yang yang juga menimbulkan kesulitan belajar siswa. Diantara
faktor-faktor yang dapat dipandang sebagai faktor khusus ini ialah sindrom
psikologis berupa learning disability (ketidakmampuan belajar). Sindrom
(syndrome) yang berarti satuan gejala yang muncul sebagai indikator adanya
keabnormalan psikis (Reber,1998) yang menimbulkan kesulitan belajar itu.
1) Disleksia (dyslexia),
yakni ketidakmampuan membaca.
2) Disgrafia (dysgraphia),
yakni ketidakmampuan belajar menulis.
3) Diskalkulia
(dyscalculia), yakni ketidakmampuan belajar matematika.
Akan tetapi, siswa yang mengalami
sindrom-sindrom diatas secara umum sebenarnya memiliki potensi IQ yang normal
bahkan diantaranya ada yang memiliki kecerdasan diatas rata-rata. Oleh
karenanya, kesulitan belajar siswa yang menderita sindrom-sindrom tadi mungkin
hanya disebabkan oleh adanya minimal brain dysfunction, yaitu gangguan ringan
pada otak (Lask, 1985: Rebert, 1988).
C.
Diagnosis
Kesulitan Belajar
1.
Pengertian diagnosis
kesulitan belajar
Diagnosis adalah keputusan
atau penentu mengenai hasil dari pengolahan data tentang siswa yang mengalami
kesulitan belajar dan jenis kesulitan yang dialami siswa.[11] Sebelum menetakan alternatif
pemecahan masalah kesulitan belajar siswa, guru sangat dianjurkan untuk
terlebih dahulu melakukan identifikasi (upaya mengenali gejala dengan cermat)
terhadap fenomena yang menunjukkan kemungkinan adanya kesulitan belajar yang
melanda siswa tersebut. Upaya seperti ini disebut diagnosis yang bertujuan
menetapkan “jenis penyakit” yakni jenis kesulitan belajar siswa.
Dalam melakukan diagnosis diperlukan adanya prosedur yang terdiri atas
langkah-langkah tertentu yang diorientasikan pada ditemukannya kesulitan
belajar jenis tertentu yang dialami siswa. Prosedur seperti ini dikenal sebagai
“diagnostik” kesulitan belajar.[12]
a. Langkah-langkah diagnosis
kesulitan belajar
Banyak langkah-langkah
diagnostik yang dapat ditempuh guru, antara lain yang cukup terkenal adalah
prosedur Weener & Senf (1982) sebagaimana yang dikutip Wardani (1991)
sebagai berikut:
1) Melakukan observasi kelas
untuk melihat perilaku menyimpang siswa ketika mengikuti pelajaran.
2) Memeriksa penglihatan dan
pendengaran siswa khususnya yang diduga mengalami kesulitan belajar.
3) Mewawancarai orangtua /
wali siswa untuk mengetahui hal ihwal keluarga yang mungkin menimbulkan
kesulitan belajar.
4) Memberikan tes diagnostik
bidang kecakapan tertentu untuk mengetahui hakikat kesulitan belajar yang
dialami siswa.
5) Memberikan tes kemampuan
intelegensi (IQ) khususnya kepada siswa yang diduga mengalami kesulitan
belajar.[1]
Diagnosis ini dapat berupa hal-hal sebagai
berikut:
1) Keputusan mengenai jenis
kesulitan belajar siswa.
2) Keputusan mengenai
faktor-faktor yang menjadi sumber sebab-sebab kesulitan belajar.
Kegiatan diagnosis dapat dilakukan dengan
cara:
1) Membandingkan nilai
prestasi individu untuk setiap mata pelajaran dengan rata-rata nilai seluruh
individu.
2) Membandingkan prestasi
dengan potensi yang dimiliki oleh siswa tersebut.
3) Membandingkan nilai yang
diperoleh dengan batas minimal tujuan yang diharapkan.
Secara umum langkah-langkah
tersebut diatas dapat dilakukan dengan mudah oleh guru kecuali langkah ke-5
(tes IQ). Untuk keperluan tes IQ, guru dan orang tua siswa dapat berhubungan
dengan klinik psikologi. Dalam hal ini, yang perlu dicatat ialah apabila siswa
yang mengalami kesulitan belajar itu ber-IQ jauh dibawah normal (tuna grahita),
orang tua hendaknya mengirimkan siswa tersebut ke lembaga pendidikan khusus
anak-anak tuna grahita (sekolah luar biasa), karena lembaga/ sekolah biasa
tidak menyediakan tenaga pendidik dan kemudahan belajar khusu untuk anak-anak
abnormal. Selanjutnya, para siswa yang nyata-nyata menunjukkan misbehavior
berat seperti perilaku agresif yang berpotensi antisosial atau kecanduan
narkotika, harus diperlakukan secara khusus pula, umumnya dimasukkan ke lembaga
pemasyarakatan anak-anak atau ke “pesantren” khusus pecandu narkotika.
Adapun untuk mengatasi
kesulitan belajar siswa pengidap sindrom disleksia, disgafia, dan diskalkulia,
sebagaimana yang telah diuraikan, guru dan orang tua sangat dianjurkan untuk
memanfaatkan support teacher (guru pendukung). Guru khusus ini biasanya
bertugas menangani siswa pengidap sindrom-sindrom tadi disamping melakukan
remedial teaching (pengajaran perbaikan).
Dalam rangka diagnosis ini
biasanya diperlukan berbagai bantuan tenaga ahli, misalnya:
1) Dokter, untuk mengetahui
kesehatan anak.
2) Psikolog, untuk mengetahui
tingkat IQ anak.
3) Psikiater, untuk mengetahui
kejiwaan anak.
4) Social worker, untuk
mengetahui kelainan sosial yang mungkin dialami anak.
5) Ortopedagogik, untuk
mengetahui kelainan-kelainan yang ada pada anak.
6) Guru kelas, untuk
mengetahui perkembangan belajar anak selama di sekolah.
2. Analisis hasil diagnosis
kesulitan belajar
Data dan informasi yang
diperoleh guru melalui diagnostik kesulitan belajar tadi perlu dianalisis
sedemikian rupa, sehingga jenis kesulitan khusus yang dialami siswa yang
berprestasi rendah itu dapat diketahui secara pasti. Contoh : siti fulanah
mengalami kesulitan khusus dalam memahami konsep kata polisemi. Polisemi
adalahsebuah istilah yang menunjuk kata yang mimiliki dua makna atau lebih.
Kata “turun”, umpamanya, dapat dipakai dalam berbagai frase seperti turun
tangga, turun ranjang, turun tangan dan seterusnya. Contoh sebaliknya, kata
“naik” yang juga dapat dipakai dalam banyak frase seperti: naik daun, naik
darah, naik banding, dan sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar