MADRASAH-MADRASAH
DI MEKAH DAN DI MADINAH
OLEH : KLP III
ANDRIADI
SRI JAYANTI
MISRAWATI
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
MADRASAH
Madrasah adalah
salah satu bentuk institusi ( lembaga) pendidikan formal dalam islam. Model
madrasah tidak sama dengan masjid atau lembaga pendidikan islam lainnya.
Madrasaqh merupakan perkembangan dari masjid. Akibat antusias dan besarnya semangat belajar umat islam,
membuat masjid-masjid penuh
dengan halaqah-halaqah. Dari tiap halaqah terdengar suara guru-guru yang
menjaelaskan pelajaran atau suara perdebatan dalam proses mengajar, sehingga
menimbulkan kebisingan yang mengganggu orang ibadah. Semakin banyak umat slam
interes pada ilmu semakin banyak pula para penuntut ilmu tersebut, masjid pun
penuh dan tidak menampung murid-murid. Lahirlah madrasah, yang bermula dari
masjid dan masjid khan. Prototype masjid khan adalah suatu desain dimana di
sekeliling masjid dibangun pemondokan atau asrama untuk murid atau untuk guru
yang tinggal didalamnya. Masjid-khan tersebut mengalami perkembangan menjadi
madrasah, dimana di dalamanya terjadi proses belajar mengajar antara pendidik
dan si terdidik. Ada p[erbedaan esensial antara masjd dengan
madrasah. Kedua institusi ini berawal dari waqf. Masjid sebagai bangunan waqf,
bebas dari control pendirinya yang disebut waqf-tahrir. Sedangkan madrasah
dibawah control pendirinya.
Pelacakan kapan
awal mulanya lahir madrasah, banyak para sejarawan yang berbeda pandangan .
menurut Al-Suyuthi, seperti dikutip azyumadi azra, istilah madrasah baru
digunakan agak luas sejak abad ke-9. institusi yang memperlihatkan cirri-ciri
madrasah sebagaimana di kenal sekarang, didirikan di
Nisyapur, Iran , sekitar seperempat pertama abad ke-11. syalabi
menyatakan bahwa madrasah yang
Dominasi materi
yang diajarkan di madrasah adalah bidang studi fiqih, George Makdisi, seperti
diutip oleh Al Tibawi, memberi nama madrasah adalah sebagai Collge of law.
Lebih lanjut Makdisi menjelaskan, sebagaimana dikutip Hanun Asrohah, bahwa
istilah madrasah diambil dari kata dars. Kata dars menunjukkan pada mata
pelajaran fiqih. Dan tadris, bentuk verbal naun ( masdar), berarti mengajar
fiqih. Ulama atau guru besar fiqih disebut mudarris dan kata darasa, tanpa
dilengkapi sebuah komplemen, diartikan mengajarkan bidang studi fiqih
B.
MADRASAH DI
MAKKAH
Menurut
sejarawan Al-Fasi Al-Makki Al-Maliki (775-832 H./1373-1428 M), madrasah pertama
di Mekkah adalah madrasah Al-Ursufiyah yang didirikan pada 1175 oleh Afif
Abdullah Muhammad Al-Ursufi (w. 1196 M). Setelah itu kemudian muncul
madrasah-madrasah yang lain dengan berbagai ragam khazanah keilmuan yang
diterapkan sebagai kurikulumnya. Ciri terpenting madrasah-madrasah di Mekkah
adalah hampir seluruh madrasah itu dibangun oleh penguasa-penguasa atau
dermawan non-Hijazi. Hanya satu madrasah, yakni madrasah Al-Syarif Al-Ajlan
yang dibangun penguasa Mekkah, Ajlan Abu Syari’ah (744-777H./1344-1375 M).
sedangkan yang terbanyak mendirikan madrasah di Mekkah adalah penguasa Usmani,
mereka membangun 5 madrasah, yaitu 4 dibangun oleh sultan Sulaiman Al-Qanuni
dan 1 lagi dibangun oleh sultan Murad (1574-1595 M). selanjutnya penguasa dan
para pejabat Abbasiyah membangun 4 madrasah. Sementara yang lain
penguasa-penguasa Mamluk dan Yaman serta penguasa muslim India. Selain kedua
madrasah diatas, Hillanbrand menjelaskan bahwa pada tahun 1183-1184 M, gubernur
Aden juga telah mendirikan madrasah untuk m adzab hanafi di mekkah. Dan setahun
kemudian ia membangun madrasah untuk madzab syafi’i. (Hillabrand, 1986:
1127). Berikut adalah Madrasah-madrasah Di Mekkah Periode Pertengahan. Pada
periode ini, terdapat setidaknya 23 madrasah yang dikenal luas di Mekkah.
Berikut penulis sebutkan tahun berdirinya, pendirinya, lokasi serta masa
pemerintahan yang berperan dalam mendirikan madrasah-madrasah tersebut.
1.
Madrasah
al-Arsufi (1175 M) Ini adalah madrasah yang paling tua yang berdiri di Mekkah,
yang berdiri kira-kira pada tahun 1175 M. madrasah ini bertempat di sekitar bab
al-Umra, salah satu pintu gerbang Masjidil Haram yang terletak pada arah timur
laut. Madrasah ini mempunyai ribat yang disebut ribat Abi Ruqaibah. Setahun
sebelum Afif Al-Ursufi mendirikan sebuah madrasah di Kairo. Literatur lain
menyebutkan bahwa sejak pembangunan madrasah Al-Ursufiyah hingga awal abad
ke-17 terdapat setidaknya 19 madrasah di Mekkah. Adapun pendiri madrasah ini
adalah Al-Afif Abdullah Muhammad Al-Arsufi, seorang berkebangsaan Syria, ia
pernah menuntut ilmu di Mesir, dan meninggal pada tahun 1197 M. Al-Arsufi
dikenal sebagai seorang ulama yang berjuang untuk Islam di Mesir dan Hijaz.
2.
Madrasah Amir
al-Zanjili (1183 M) Dengan mengambil lokasi yang tidak jauh dengan Bab al-Umra,
madrasah al-Zanjili adalah madrasah yang didedikasikan untuk mengajarkan dan
mengembangkan keilmuan madzhab Hanafi, dan diformulasikan sebagai sarana untuk
mengajarkan hukum-hukum Islam. Madrasah ini didirikan oleh seorang syeikh
Mekkah bernama Amir Fakhruddin Usman bin Ali Al-Zanjili. Ia diangkat sebagai
Gubernur di Aden oleh dinasti Ayyubiyah pada saat Salahuddin Al-Ayyubi
menaklukkan Hijaz. Al-Zanjili meninggal di Damaskus pada tahun 1187 M. Madrasah
ini juga dikenal sebagai Dar al-Silsilah.
3.
Madrasah Tab
al-Zaman al-Habasiyah (1184 M) Madrasah ini didirikan oleh seorang wanita dari
dinasti Abbasiyah, pada tahun 1184 M. pada tahun tersebut ia mendirikan
madrasah tersebut untuk mengajarkan sepuluh orang siswa tentang fiqih Syafi’i.
madrasah ini dibangun di dekat monumen Zubaidah, istri dari Harun Ar-Rasyid,
yang terletak di sebelah barat daya dari masjidil Haram.
4.
Madrasah
Muzaffar al-Din (1208 M) Madrasah ini hanya diketahui melalui data arkeologi
yang terdapat pada museum di masjid besar Mekkah. Tidak ditemukan sumber
literatur yang dapat mendeskripsikan madrasah ini. Madrasah ini didirikan pada
tahun 1208 M oleh Muzaffar al-Din, seorang penguasa di kota Arbil, sebuah kota
besar di Iraq. Al-Malik al-Mu’azzam Muzaffar al-Din Kukaburi telah
diamanati untuk memegang kontrol pemerintahan di kota Irbil oleh kesultanan
Ayyubiyah pada tahun 1190 M. Dia telah membangun banyak sekali fasilitas umum,
terutama dalam bidang pendidikan, dan salah satunya adalah madrasah ini. Ia
meninggal pada tahun 1233 M.
5.
Madrasah
al-Nihawandi (1231 M) Dalam bukunya Sifa’ al-Gharam, Al-Fasi menjelaskan bahwa
madrasah ini berlokasi di sekitar al-Duraybi, sebelah utara masjidil Haram.
Sejarawan memperkirakan madrasah ini mampu bertahan hingga 200 tahun. Madrasah
ini didirikan oleh seorang ulama dari Iran, tepatnya dari kota Nihawand.
6.
Madrasah Abu
Ali bin Abi Zakariya (1237 M) Didirikan pada tahun 1237 M, madrasah ini
berdekatan dengan madrasah Mujahidiyah di sepanjang bagian selatan dari masjid
besar al-Haram. Al-fasi yang mengumpulkan data yang dihimpunnya dari penelitian
prasasti yang dipelajarinya, menjelaskan bahwa Abu Ali bin Abi Zakariya telah
digambarkan sebagai sosok Imam yang Syahid.
7.
Madrasah Ibnu
Al-Haddad al-Mahdawi (1240 M) Pada sisi sebelah barat dari masjidil Haram,
Abdul Haq bin Abdul Rahman bin Al-Haddad Al-Mahdawi mendirikan sebuah madrasah
yang tertutup oleh sekolah yang didirikan oleh Arsufi. Madrasah ini memfokuskan
perkuliahan pada fiqih-fiqih madzhab Maliki, tidak ada yang mengetahui mengenai
jati diri pendiri madrasah ini kecuali bahwa ia adalah seorang syeikh yang
shaleh, terpercaya dan teguh pendirian.
8.
Madrasah Amir
Fakhr al-Din al-Shallah (1242 M) Fakhr al-Din al-Shallah adalah seorang dari
dinasti Mamluk yang keturunan Malik Al-Mansur Umar bin Ali, pendiri dinasti
Rasulid di Yaman. Ia mengabdi sebagai Gubernur di Mekkah dari tahun 1242-1249
M, selama masa tersebut, kota suci berada pada kekuasaan dinasti Rasulid. Hanya
sedikit yang dapat diketahui dari madrasah ini, selain bahwa madrasah ini
terletak di sebelah barat masjidil Haram, mengajarkan fiqih madzhab Syafi’i dan
hadis Nabawi. Ayah As-Shallah juga turut ambil bagian dalam memajukan madrasah
ini, terutama dengan banyak memberi bantuan dana pendidikan.
9.
Madrasah Malik
Al-Mansur (1243 M) Madrasah ini didirikan oleh Malik Al-Mansur Umar bin Ali bin
Rasul pada tahun 1243 M. terletak di sebelah barat dari masjid besar,
berdekatan dengan al-Umra dan madrasah al-Zanjili. Fiqih madzhab Syafi’i dan
studi hadis Nabawi menjadi kurikulum pada institusi ini. Meskipun menurut
catatan Al-Fasi, pembelajaran hadis pada madrasah ini telah dimulai sejak putra
Al-Mansur, yakni Malik Al-Muzaffar. Madrasah ini dipelihara oleh dua dinasti sekaligus,
yaitu dinasti Ayyubiyah dan Mamluk di Mesir, juga dinasti Rasulid di Yaman.
Madrasah ini banyak dijadikan tempat belajar para peziarah dari Afrika Utara
selama mereka berada di Mekkah.
10.
Madrasah Malik
Al-Muzaffar (1249 M) Ibnu Bathutha adalah penulis abad pertengahan yang
menyebutkan nama madrasah ini. Madrasah ini didirikan oleh sultan kedua dinasti
Rasulid, yaitu Malik al-Muzaffar Yusuf bin Umar. Sayangnya, tidak ditemukan
data yang menjelaskan mengenai kurikulum yang diterapkan dan fasilitas yang
disediakan untuk para siswa pada madrasah ini.
11.
Madrasah Arghun
Shah al-Nasiri (1320 M) Amir Arghun Shah adalah perwakilan pertama dari dinasti
Mamluk yang mempelopori berdirinya universitas di Mekkah. Sebenarnya ia adalah
salah seorang pejabat sultan Mamluk yang mengabdi sebagai wakil Gubernur Mesir
selama 16 tahun, dan di Aleppo selama 4 tahun. Kemudian ia meminta izin untuk
mengajar hukum Islam dan memberi fatwa di Mekkah. Kemampuannya dalam bidang
hukum Islam adalah sehebat kedudukannya di pemerintahan Mamluk. Menurut data
Al-Fasi, madrasah Arghun ini berdiri pada tahun 1320 M, yang berlokasi di sisi
utara Masjidil Haram berdekatan dengan makam sahabat besar Nabi, Abdullah bin
Zubair, yang disebut dengan Dar al-Ajala. Madrasah ini menerapkan ajaran fiqih
madzhab Hanafi sebagai kurikulum yang diajarkan. Madrasah ini juga mendapatkan
pengawasan secara khusus dari lembaga peradilan dan fatwa yang bermadzhab
Hanafi di Kairo.
12.
Madrasah Malik
Al-Mujahid (1338 M) Pada tahun 1338 M, sultan Rasulid dari Yaman, Malik
al-Mujahid Ali bin Daud (1322-1363 M) mendirikan sebuah madrasah di sebelah
selatan dinding masjidil Haram. Dari situ maka kemudian pintu Masjidil Haram
yang yang bernama Bab al-Rahmah, justru terkenal dengan sebutah Bab
al-Mujahidiyyah. Hukum Islam madzhab Syafi’i menjadi kurikulum yang diajarkan
di madrasah tersebut. M. Madrasah Malik al-Afdhal Abbas (1366 M)
Sultan Rasulid, Malik al-Afdhal Abbas (1364-1376 M) mendirikan sebuah madrasah
di sebelah timur gerbang utama Masjidil Haram. Konsentrasi yang diajarkan
adalah fiqih Syafi’i. pembelajaran dilakukan dengan menggaji seorang syeikh
atau profesor hukum madzhab Syafi’i, dan didampingi oleh seorang asistennya.
Selain itu, madrasah ini memfokuskan kurikulumnya pada pengajaran ilmu-ilmu
al-Qur’an dan pendalaman bagi seorang Imam.
13.
Madrasah Ajlan
bin Rumaytha (sekitar pertengahan abad 18) Sejak berdirinya dinasti Hasanid di
Mekkah pada pertengahan abad ke-empat belas, beberapa daerah bagian dari
kekuasaan Hasanid sukses dalam memerintah wilayah Emirat, sehingga madzhab
Syi’ah Zaidiyah berhasil menguasai wilayah di sekitarnya. Hal inilah tampaknya
yang menyebabkan tidak berdirinya madrasah-madrasah di Mekkah selama periode
tersebut. Yang bisa disaksikan adalah lembaga pendidikan pada masa itu hanya
bertumpu pada beberapa sekolah hukum Islam yang beraliran Sunni. Pada waktu
itulah, seorang penguasa Mekkah yang bermadzhab Syafi’i, yaitu Ajlan bin
Rumaytha , dengan dibantu saudaranya yang bernama Thabaqa dan anaknya yang
bernama Ahmad, mendirikan sebuah madrasah yang pada awalnya dimaksudkan untuk
melawan perkembangan ajaran Syi’ah Zaidiyah. Madrasah ini eksis pada tahun
1345-1375 M. Namun sayangnya, antara tahun itu madrasah Ajlan justru mendapat
saingan yang kuat dari para penerus madrasah Mujahidiyahdi bagian selatan pintu
utama Masjidil Haram.
14.
Madrasah Sharif
Jar Allah (1387 M) Pada tahun 1387-1388 M Syarif Abu Munif Jar Allah bin Hamzah
bin Rajih bin Abi Numay mendirikan sebuah madrasah disepanjang tembok sebelah
utara Masjid Besar, berdekatan dengan Dar al-Ajala. Menurut sejarahnya,
madrasah ini pernah digunakan sebagai kontrol politik emirat atas kota Mekkah.
15.
Madrasah Sharif
Hasan bin Ajlan (sebelum tahun 1400 M) Madrasah ini didirikan oleh Sharif Hasan
bin Ajlan, dan beraktivitas sekitar tahun 1395 hingga 1400 M. Dalam literatur
yang ditulis oleh Umar Fahd, Hasan bin Ajlan mendirikan madrasah ini setelah
penaklukkan Emirat atas kota suci Mekkah, selama beberapa tahun lamanya.
16.
Madrasah
Bangaliya (1410 M) Madrasah atau universitas yang pertama kali – dari tiga
universitas – yang didirikan oleh muslim India adalah madrasah Bangaliya.
Madrasah ini didirikan oleh sultan besar kesultanan Ilyas Shah di Bengal, yang
bernama Ghiyath al-Din Abu al-Muzaffar Azam Shah (1390-1411 M). Dia adalah
orang pertama yang membangun model pembelajaran tingkat perguruan tinggi
pertama pada masa awal berdirinya. Madrasah ini mengajarkan ajaran keempat
madzhab sekaligus sebagai kurikulumnya. Adapun pengajar madzhab Syafi’i adalah
Jamaluddin Muhammad bin Abdullah bin Zahira (1350-1414 M). Sedangkan pengajar
dari madzhab Hanafi adalah Syihabuddin Ahmad Al-Diya (1348-1422 M), seorang
ulama berkebangsaan India. Kemudian pengajar madzhab Maliki adalah Taqiuddin
Muhammad bin Ahmad Al-Fasi (1373-1429 M), seorang ahli sejarah Mekah. Dan pengajar
madzhab Hambali adalah Sirajuddin Abdul Latif bin Abi Fath Muhammad bin Ahmad
Al-Hasani Al-Fasi (1377-1449 M), seorang hakim dan ahli hukum bermadzhab
Hambali di Mekkah. Selain membangun madrasah di Mekkah, sultan ini juga
mendirikan sebuah madrasah di Madinah. Sultan membangun madrasah di Madinah
lengkap dengan ribatnya. Madrasah A’zham Syah di Madinah, yang dibangun pada
waktu hampir bersamaan dengan madrasah di Mekkah, terletak di dekat kawasan Bab
Al-Salam, Masjid Nabawi.
17.
Madrasah
Gulbargiyya (1427 M) Madrasah ini didirikan oleh sultan Gulbarga dari India,
yaitu Shihabuddin Abu Al-Maghazi Ahmad Shah (1422-1436 M). Syeikh yang mengajar
di madrasah ini yang terkenal adalah syeikh Jalaluddin Abdul Wahid Al-Mursidi,
seorang pengikut madzhab Hanafi dan guru tata bahasa Arab. Pelajaran yang
diajarkan pada madrasah ini adalah tafsir al-Qur’an, hukum Islam dan tata
bahasa Arab. Apa yang diajarkan di madrasah ini berdasarkan instruksi langsung
dari sultan Gulbargiyah di India.
18.
Madrasah
Basitiyah (1431 M) Sebenarnya madrasah ini adalah kelanjutan dari madrasah Amir
Arghun Shah yang kemudian dikonstrusi oleh Abdul Basith. Proses renovasi yang
dimulai pada tahun 1431-1432 M, telah berhasil diselesaikan pada tahun
berikutnya. Syeikh besar bermadzhab Syafi’i yang bernama syeikh Jalaluddin Abu
Sa’adat Muhammad bin Zahra, adalah orang pertama yang menjadi guru pada
madrasah tersebut.
19.
Madrasah
Zimamiyah (1431 M) Madrasah Zimamiyah didirikan pada tahun 1431-1432 M, oleh
Amir Khusqadam bin Abdullah Al-Zahiri, seorang hakim kesultanan Mamluk. Pada
mulanya madrasah Khusqadam adalah sebuah universitas yang didirikan oleh Sharif
Jar Allah pada tahun 1387 M yang mengambil tempat di sebelah utara gerbang
masjid besar. Seorang pakar sejarah Mekkah, Najmuddin Umar bin Fahd menggambarkan
madrasah ini sebagai tempat orang-orang miskin dan para sufi berkumpul untuk
mengkaji dan mendalami al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama, setiap sore hari mereka
berkumpul di madrasah ini.
20.
Madrasah
Utaifiyah (1456 M) Pendirinya adalah Zainab bin Badruddin Hasan bin Khasbak,
seorang permaisuri kesultanan Mamluk (1453-1461 M). Sangat disayangkan sumber
literatur yang ada tidak banyak menggambarkan latar belakang madrasah ini.
21.
Madrasah Sultan
Cambay (1461 M) Pendirinya adalah Ghiyath al-Din Muhammad Shah, seorang sultan
Cambay di India. Madrasah ini selain mendidik banyak murid dalam bidang
tasawuf, juga mengajarkan khazanah keilmuan madzhab Hanafi. Penataan siswa pada
madrasah ini juga dilakukan secara lebih teratur. Ada yang pengajaran dilakukan
setelah shalat asar, ada juga yang dilakukan setiap hari. Ada kelas untuk
siswa-siswa yang tidak punya, ada juga kelas untuk siswa yang memiliki cukup
bekal untuk belajar.
22.
Madrasah Sultan
Qa’itbay (1480 M) Madrasah ini didirikan oleh sulta Mamluk yang bernama Malik
Al-Ashraf Qa’itbay, yaitu ketika ia mengutus wakilnya ke Hijaz yang bernama
Syamsuddin Muhammad bin Umar bin Al-Zaman. Ibnu Al-Zaman dalam pendirian
madrasah ini memilih tempat di sebelah timur Masjidil Haram. Madrasah ini
memiliki satu ruang besar untuk kuliah umum, 72 ruang kelas untuk guru dan
murid, dan 4 perpustakaan untuk masing-masing madzhab Sunni.
Madrasah
Qa’itbay pada umumnya terkenal dengan nama Ashrafiyah setelah sultan Malik
Al-Ashraff membangun ribat Al-Maraghi tidak jauh dari lokasi madrasah tersebut.
Sebagaimana madrasah Bangaliyah, madrasah ini juga mengajarkan keilmuan empat
madzhab terutama dalam bidang hukum Islam. Madrasah yang megah ini mengalami
kerusakan dalam 70 tahun. Akhirnya madrasah ini dijual dan dijadikan asrama
jamaah haji dari Mesir. Namun kemudian pada pertengahan abad ke-19 M, Hasyib
Pasya mengembalikan kompleks bangunan Qa’itbay ini kepada fungsinya semula
sebagai madrasah, dengan mewaqafkan sejumlah besar dana.
C.
MADRASAH DI
MADINAH
Jika
dibandingkan dengan mekkah, perkembangan madrasah dimadinah terlihat lebih
gelap. Pasalnya, sumber-sumber yang berhubungan dengan sejarah madinah pada
umumnya tidak membahas tentang hal tersebut. Namun, dari hasil pelacakannya,
Azyumardi hanya memperoleh beberapa informasi sebagai berikut (Azyumardi azra,
2004: 120).
Pertama, dari
buku The Travels Of Ibnu Jubayr, Aazyumardi memperoleh informasi bahwa ibnu
jubayr telah menghadiri kegiatan perkuliahan di Mekah dan Madinah pada tahun
579 H/ 1183M. Namun, nama madrasah tersebut tidak dijelaskan secara eksplisit.
Kedua, The
Travels Of Ibnu Battutah, Azyumardi juga memperoleh informasi bahwa Ibnu
Battutah yang berada di madinah menjelang ahir tahun 728H/ 1326 M, sering
mengamati kegiatan keilmuan yang diselenggarakan dimasjid al-nabawi dalam
bentuk halaqah, lengkap dengan al-quran dan kitab-kitab lainnya.
Ketiga, dari
buku Al-iqd Al Stamin fi tarikh Al Balad Al-Amin, Azyumardi memperoleh
informasi bahwa selain membangun madrasah di Mekkah, sultan Ghiyats Al Din juga
mendirikan madrasah di Madinah yang terletak dikawasan Bab Al-salam, masjid
Al-Nabawi. Masjid ini dikenal dengan nama A’dzam Syah. Informasi ini juga
ditemukan oleh Azyumardi dalam buku wafa al-wafa.
Keempat, dari
buku yang yang terahir ini, Azyumardi memperoleh informasi bahwa diantara
wilayah Dar Al-syibak dan Al Husn Al Atiq, penguasa Mamluk juga pernah
mendirikan sebuah madrasah yang bernama madrasah Jaubaniyyah. Penguasa Mamluk
lainnya juga melakukan hal yang sama sehingga secara kolektif madrasah-madrasah
tersebut dikenal dengan nama madrasah Asyafi’iyah.
Kelima, dari
buku Tuhfat Allathifah Fi Tarikh Al-Madinah Al-Syarifah, Azyumardi memperoleh
informasi tentang adanya beberapa nama madrasah yang pernah didirikan di
Madinah yaitu: madrasah Qeit Bey, madrasah Albasithiyah yang didirikan Zayni
Abd Al- Basith, madrasah Al-Zamaniyah yang didirikan oleh Syams Al-Din Al
Zaman, Al-Sanjariyah, Al-Syahabiyah, dan Al-Mazhariyah yang didirikan oleh
Zayni Katib.
Keenam, dari
Buku Travels In Arabia, Azyumardi memperoleh informasi tentang adanya madrasah
Al-Hamdiyah yang didirikan oleh salah seorang penguasa usmani.
D.
KONTEKS
MASYARAKAT MEKAH DAN MADINAH
Pembahasan
tentang konteks sosial Makah dan Madinah, dalam usaha memahami perkembangan
madrasah Haramayn secara lebih objektif dan komprehensif memang sangat
signifikan. Hal ini mengingat perkembangan madrasah bukanlah sesuatu yang
bersifat konstan melainkan dinamis. Dengan pemahaman konteks tersebut
diharapkan akan diperoleh sebuah perspektif yang tidak bersifat simplified.
Dalam hal ini, menurut Azzyumardi Azra, setidaknya ada beberapa hal yang bisa
dijadikan sebagai pisau analisis. Yaitu:
A.
Sosial politik
Dalam kacamata
sosial politik, tumbuh dan berkembangnya madrasah haramayn tidak bisa lepas dari
hal sebagai berikut:
Pertama,
perubahan situasi menjelang abad ke-II seiring dengan diraih kembalinya kontrol
politik penguasa Sunni atas sebagaian besar wilayah Timur. Sebagaimana
diketahui sejak abad ke sembilan, situasi politik di Hijaz hususnya di Makkah,
sangat buruk. Beberapa tahun kemudian, tepatnya awal abad ke-10, kaum Syiah
muncul dan menguasai sebagaian wilayah Timur Tengah; dinasti Fatimiyah di Mesir
dan Afrika, sedangkan dinasti Buwaihiyah di Irak Iran dan bahkan mendikte
khalifah sunni di Baghdad.
Kenyataan
diatas, benar- benar menjadi sebuah pukulan moral bagi mayoritas kaum Sunni.
Terlebih mereka yang berada di Hijaz harus berhadapan dengan syiah Qarmathiyah
yang cenderung bersifat kasar dan toleran sebagaimana syiah Fathimiyah.
Perlakuan kelompok syiah Qarmmathiyah yang kemudian menjadikan dampak negatif
substansial bagi masyarakat sunni Haramayn. Baik dari sisi ekonomi maupun
pendidikan. Dan situasi ini mulai berubah semenjak kekuasaan atas kontrol
politik kembali dipegang oleh penguasa sunni (Azyumardi Azra, 2004:54).
Kedua,
kembalinya para ulama Sunni kekota Makah dan Madinah setelah mengembara
kemana-mana selama masa-masa sulit.
Ketiga,
patronase penguasa atau dermawan non hijazi terhadap perkembangan madrasah.
Dalam hal ini, Azyumardi menjelaskan bahwa ciri terpenting madrasah di
Haramayn, hususnya di Makah adalah, hampir seluruh madrasah dibangun oleh
penguasa atau dermawan non-Hijazi. Selain itu, sumber dana pendidikan di
madrasah haramayn sangat tergantung pada waqaf yang diberikan oleh mereka.
Akibatnya, dari segi keuangan madrasah cenderung rapuh.
B.
Wacana keagamaan
Salah satu
kebijakan yang masyhur di keluarkan oleh dinasti Saljuq adalah kembali pada
ortodoksi sunni. Bahkan untuk menunjang pelaksanaan kebijakan tersebut, pendirian
madrasah Nizamiyah pun diorientasikan pada tujuan politis yang demikian. Lebih
dari itu perkembangan madrasah ditempat lain, termasuk di Haramayn, juga
diorganisasikan dalam garis kebijakan yang sama. (Azzyumardi Azra, 2004:62).
Dari sini dapat disimpulkan bahwa madrasah Haramayn tumbuh dan berkembang dalam
iklim wacana keagamaan yang bersifat indoktrinasi dalam ortodoksi islam, jauh
berbeda dengan iklim di awal masa kekuasaan Abbasiyah.
Implikasi
terpenting dalam hal ini adalah, semakin surut dan hilangnya tradisi penelitian
dalam dunia islam yang ernah berkembang sebelumnya. Selain itu, dinamisme,
kreatifitas, progresifitas, serta kebebasan berfikir dan berinvestigasi juga
semakin terbatasi oleh ortodoksi.
Meminjam
istilah Muhammad Arkoun, masyarakat muslim terus hidup dalam epistimologi
(Muhammad arkoun, 1999) thinkble, dan tidak pernah mau menyentuh epistema
unthinkable dan not yet thought. Dan berawal dari menyerahnya unsur-unsur
dinamisme dan kebebasan pada konsep-konsep yang bersifat statis dan ortodoktif
inilah, obor keilmuan diserahkan pada renaissans eropa (Mehdi Nakosten, 1996).
C.
Peran dan
fungsi lembaga pendidikan (Madrasah)
Dalam teori
managemen, untuk menjadi sebuah pusat peradaban, lembaga pendidikan (madrasah)
tidak hanya harus memainkan peran sebagai sebuah lembaga pembudayaan saja.
Lebih dari itu, dia juga harus memainkan fungsi dan perannya sebagai lembaga
pendidikan dan pengetahuan, dan ketiga peran tersebut sejatinya harus dimainkan
secara integrated serta membentuk sebuah sinergi yang bersifat positif (Malik
fadjar, 2004).
Berawal dengan
teori ini, kita dapat menganalisis peran lembaga pendidikan sunni, termasuk
didalamnya adalah madrasah yang berkembang di Makkah dan Madinah. Apakah sudah
memainkan ketiga peran tersebut, atau ternyata terjebak hanya dalam peran
pembudayaan saja.
Menurut
Azyumardi Azra, semenjak berdirinya An-Nizamiyah, madrasah hususnya yang
berafiliasi dengan sunni, cenderung hanya berfungsi sebagai: Pertama, transfer
ilmu dan ajaran islam. Kedua, pemeliharaan tradisi islam. Ketiga, reproduksi
ulama. Sementara itu, tradisi penelitian yang menjadi prasyarat utama bagi
perkembangan ilmu pengetahuan justru tidak terjadi. Hal ini tentunya tidak
dilepaskan dari sedemikian kuatnya gerakan ortodoksi pada saat itu, jadi tidak
berlebihan seandainya disimpulkan bahwa madrasah Haramayn dalam sejarah
perkembangannya, baru memainkan peran pembudayaan dan pengetahuan, serta belum
memainkan peran pendidikannya secara optimal.
PENUTUP
KESIMPULAN
Sejarah
perkembangan madrasah Haramayn ternyata tidak bisa dilepaskan dari pengaruh
kontek sosial yang melingkupinya. Selain pengaruh kebijakan Al-Nizamiyah di
Baghdad, dari pembahasan ini, bisa dipahami bahwa pilihan sunni sebagai madzab
juga tidak bisa dilepaskan dari trauma politik terhadap kekerasan yang pernah
dilakukan oleh syiah Qarmathiyah.
Pilihan madzab
inilah yang kemudian berimplikasi pada menguatnya wacana keagamaan yang
dipengaruhi oleh ortodoksi, jauh dari kebebasan dan penelitian. Dan dari
sinilah peran madrasah terjebak pada domain pembudayaan, belum pada pendidikan
dan pengetahuan.
Sebenarnya
kebanyakan madrasah di Mekkah cukup rapuh dari segi keuangan. Ini karena mereka
hampir sepenuhnya tergantung pada waqaf, yang kebanyakan diberikan oleh para
penguasa dan dermawan non-Hijazi. Seringkali madrasah terlantar karena
kurangnya bantuan waqaf yang kontinyu atau lemahnya pengawasan. Meskipun sejak
masa Turki Usmani waqaf telah dikelola oleh pemerintah Usmani, namun
penyimpangan dan salah urus harta waqaf merupakan hal yang biasa terjadi.
Tak terelakkan
lagi, ini mengakibatkan ambruknya pengelolaan waqaf, dan konsekwensinya adalah
kemunduran bahkan penutupan madrasah itu yang terjadi. Karenanya, meskipun
terdapat banyak madrasah, kebanyakan ulama Haramain lebih senang mengafiliasikan
diri dengan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi yang jauh lebih aman secara
finansial. Sebab itu pula mereka lebih banyak melakukan kegiatan pengajaran di
masjid-masjid ini daripada di madrasah-madrasah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar